Semangat hidup
tak pernah redup, apalagi sirna dalam kehidupan Mak Ti, meskipun usianya mulai
melayu, wajahnya yang ayu mulai memudar, dan keriput pada garis-garis wajahnya
tidak mungkn tersembunyikan. Senyum
Makti selalu mengembang seperti kuncup bunga yang bermekaran. Bila lelahpun tetap tersimpan tak
dipertontonkan.
Terlihat dengan
jelas Mak Ti menjalani kehidupannya dengan penuh lapang, dan ikhlas jauh dari
mengeluh. Beliau mempunyai 9 orang anak, 5 putri, 4 putra. 2 dari sembilan
anaknya sudah tiada, anaknya yang nomor 2 dipanggil oleh ilahi melalui sakit keras, dengan meninggalkan seorang
putri, yang kemudian Mak tilah yang kemudian mengambil alih untuk mengasuh
putri yang sudah piatu tersebut. Anak ke 7 meninggal sebelum sempat melihat
dunia.
Suami Mak Ti
sendiri, Pak Tuwo, sudah hampir 25 tahun tidak bisa melihat, suami Mak Ti
mengalami kebutaan karena katarak yang dideritanya, meskipun sudah dioperasi
namun kebutaannya tidak berkurang sedikitpun.
Ketiga Putrinya
sudah berumah tangga, menempati rumah disamping kanan kiri rumah Mak Ti. Selang
beberapa tahun kemudian menyusul 2 putranya menikah.
Sudah menjadi
kegiatan Mak Ti dalam sehari-hari, selalu saja ada yang harus dikerjakan oleh
Mak Ti, Mulai Makti bangun pada pagi-pagi buta hingga Makti tidur kembali
diwaktu selimut malam terpapar dibumi, itupun belum tentu Mak Ti bisa tidur
dengan lelap, karena Makti harus menjaga cucu-cucunya yang masih bayi. 2 orang
anak Makti menitipkan bayi-bayi mereka kepada Makti, karena mereka bersama pasangan hidupnya harus
bekerja dikota, dan tidak mungkin membawa serta bayi mereka ketempat kerja,
menggaji babyi sister mereka pasti tidak mampu. Disamping itu biaya hidup
dikota mahal, apalagi untuk keperluan bayi semua serba mahal. Dengan terpaksa
bayi mereka dititipkan ke Mak Ti, ibu mereka.
Torek, torek...,
suara ulek Mak Ti berlomba-lomba dengan suara kokok ayam, sambil menggendong
salah satu cucunya yang masih bayi, Mak ti mempersiapkan sarapan untuk suami,
anak dan cucunya. Terlihat Mak Ti meniup-niup tungku berbahan bakar kayu hasil
pencarian Mak Ti, dengan asap mengepul-ngepul dengan semangat mak ti membuat
makanan untuk keluarganya.
Ketika adzan
berkumandang Mak Ti menuju mushola melaksanakan sholat subuh berjama’ah, sepulang
dari langgar Mak ti harus membersihkan rumah dan halaman, mencuci peralatan
dapur, mencuci pakaian, memberi makan pada hewan piaraannya, ada ayam, bebek
dan mentok.
Sebagian pekerjaan
rutin Mak ti Usai, Mak ti harus mencari kayu dan menggarap sawah , dan Sebagaimana biasanya, tapi sebelum Mak Ti kesawah, Mak Ti harus
memandikan dan mendandani 2 bayi dan 2
cucu yang berumur 2 tahun. Untunglah ada salah satu cucu mak ti yang besar,
yang menjaga bayi-bayi dan sikecil selama makti disawah.
Seringai mentari
memanah bumi, dengan terseok-seok Mak Ti berjalan menyusuri padang rerumputan,
dikanan kiri jalan tampak gersang tak ada satupun pepohonan yang berdiri tegak
penahan tanah. Hanya pohon perdu yang tumbuh liar disana. Jarak rumah menuju
sawah lumayan jauh lebih dari 1 km, dan Mak Ti harus berjalan kaki dengan
menantang matahari. Semangatnya masih menyala mengalahkan nyala mentari, tak
ada keluh kesah di wajahnya meskipun peluh membasahi sekujur tubuhnya.
Satu kedok
sawah harus diolah oleh Makti, hanya itu sawah yang dimiliki. Selain ditanami
padi, juga ditanami berbagai macam tanaman palawija, tampak pohon cabe yang
berbunga, tomat yang mulai tumbuh daunnya, kacang panjang yang mulai menjalar
dan sayur terong yang mulai keluar kentilnya. Sawah tersebut merupakan sumber
penghasilan Mak Ti, selain menjadi tukang urut anak-anak, pun tidak jarang Mak
Ti diminta untuk memijat orang-orang dewasa. Dan jika musim tanam datang Mak Ti
dengan rela menjadi buruh yang dibayar
Setiap panen,
hasil panennya disimpan dalam bentuk gabah kering, jika butuh uang belanja, Mak
ti tinggal mengambil satu karung gabah untuk dijual. Namun, jika hanya
mengendalikan gabah saja tidak lah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
tidak jarang Mak Ti harus pontang panting sendiri mencari lahan untuk menggali
lubang, jika ada anaknya yang memberi uang barulah Mak Ti bisa menutup lubang,
itupun tidak semua lubang bisa ditutup. Tidak mungkin bagi Mak Ti meminta uang
kepada suami yang sudah tidak mampu bekerja. Otak, tangan dan kaki Mak ti tidak
pernah berhenti, selalu berputar mencari cara agar tungku didapur terus
mengepul. Hari demi hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan bahkan tahun demi
tahun Mak Ti terus berputar, bergerak, merangkak, menggapai hidup dan bertahan
hidup tanpa lelah, demi anak dan cucu-cucunya, tanpa lupa memperlihatkan senyum bulan
sabitnya. Dan terus mengasuh bayi-bayi anak-anaknya, bayi yang satu tumbuh
besar, lahir lagi bayi-bayi yang baru dari rahim putri kandung dan anak mantu. Entah
sampai kapan, apakah hingga waktu itu tiba, disaat Mak Ti harus berada didalam
keranda, mencium tanah dalam keadaan mata terpejam.