Rabu, 12 Februari 2014

MAK TI



Semangat hidup tak pernah redup, apalagi sirna dalam kehidupan Mak Ti, meskipun usianya mulai melayu, wajahnya yang ayu mulai memudar, dan keriput pada garis-garis wajahnya tidak mungkn tersembunyikan.  Senyum Makti selalu mengembang seperti kuncup bunga yang bermekaran.  Bila lelahpun tetap tersimpan tak dipertontonkan.
Terlihat dengan jelas Mak Ti menjalani kehidupannya dengan penuh lapang, dan ikhlas jauh dari mengeluh. Beliau mempunyai 9 orang anak, 5 putri, 4 putra. 2 dari sembilan anaknya sudah tiada, anaknya yang nomor 2  dipanggil oleh ilahi melalui  sakit keras, dengan meninggalkan seorang putri, yang kemudian Mak tilah yang kemudian mengambil alih untuk mengasuh putri yang sudah piatu tersebut. Anak ke 7 meninggal sebelum sempat melihat dunia.
Suami Mak Ti sendiri, Pak Tuwo, sudah hampir 25 tahun tidak bisa melihat, suami Mak Ti mengalami kebutaan karena katarak yang dideritanya, meskipun sudah dioperasi namun kebutaannya tidak berkurang sedikitpun.
Ketiga Putrinya sudah berumah tangga, menempati rumah disamping kanan kiri rumah Mak Ti. Selang beberapa tahun kemudian menyusul 2 putranya menikah.
Sudah menjadi kegiatan Mak Ti dalam sehari-hari, selalu saja ada yang harus dikerjakan oleh Mak Ti, Mulai Makti bangun pada pagi-pagi buta hingga Makti tidur kembali diwaktu selimut malam terpapar dibumi, itupun belum tentu Mak Ti bisa tidur dengan lelap, karena Makti harus menjaga cucu-cucunya yang masih bayi. 2 orang anak Makti menitipkan bayi-bayi mereka kepada Makti,  karena mereka bersama pasangan hidupnya harus bekerja dikota, dan tidak mungkin membawa serta bayi mereka ketempat kerja, menggaji babyi sister mereka pasti tidak mampu. Disamping itu biaya hidup dikota mahal, apalagi untuk keperluan bayi semua serba mahal. Dengan terpaksa bayi mereka dititipkan ke Mak Ti, ibu mereka.
Torek, torek..., suara ulek Mak Ti berlomba-lomba dengan suara kokok ayam, sambil menggendong salah satu cucunya yang masih bayi, Mak ti mempersiapkan sarapan untuk suami, anak dan cucunya. Terlihat Mak Ti meniup-niup tungku berbahan bakar kayu hasil pencarian Mak Ti, dengan asap mengepul-ngepul dengan semangat mak ti membuat makanan untuk keluarganya.
Ketika adzan berkumandang Mak Ti menuju mushola melaksanakan sholat subuh berjama’ah, sepulang dari langgar Mak ti harus membersihkan rumah dan halaman, mencuci peralatan dapur, mencuci pakaian, memberi makan pada hewan piaraannya, ada ayam, bebek dan mentok.
Sebagian pekerjaan rutin Mak ti Usai, Mak ti harus mencari kayu dan menggarap sawah , dan  Sebagaimana biasanya, tapi  sebelum Mak Ti kesawah, Mak Ti harus memandikan dan mendandani  2 bayi dan 2 cucu yang berumur 2 tahun. Untunglah ada salah satu cucu mak ti yang besar, yang menjaga bayi-bayi dan sikecil selama makti disawah.
Seringai mentari memanah bumi, dengan terseok-seok Mak Ti berjalan menyusuri padang rerumputan, dikanan kiri jalan tampak gersang tak ada satupun pepohonan yang berdiri tegak penahan tanah. Hanya pohon perdu yang tumbuh liar disana. Jarak rumah menuju sawah lumayan jauh lebih dari 1 km, dan Mak Ti harus berjalan kaki dengan menantang matahari. Semangatnya masih menyala mengalahkan nyala mentari, tak ada keluh kesah di wajahnya meskipun peluh membasahi sekujur tubuhnya.
Satu kedok sawah harus diolah oleh Makti, hanya itu sawah yang dimiliki. Selain ditanami padi, juga ditanami berbagai macam tanaman palawija, tampak pohon cabe yang berbunga, tomat yang mulai tumbuh daunnya, kacang panjang yang mulai menjalar dan sayur terong yang mulai keluar kentilnya. Sawah tersebut merupakan sumber penghasilan Mak Ti, selain menjadi tukang urut anak-anak, pun tidak jarang Mak Ti diminta untuk memijat orang-orang dewasa. Dan jika musim tanam datang Mak Ti dengan rela menjadi buruh yang dibayar
Setiap panen, hasil panennya disimpan dalam bentuk gabah kering, jika butuh uang belanja, Mak ti tinggal mengambil satu karung gabah untuk dijual. Namun, jika hanya mengendalikan gabah saja tidak lah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak jarang Mak Ti harus pontang panting sendiri mencari lahan untuk menggali lubang, jika ada anaknya yang memberi uang barulah Mak Ti bisa menutup lubang, itupun tidak semua lubang bisa ditutup. Tidak mungkin bagi Mak Ti meminta uang kepada suami yang sudah tidak mampu bekerja. Otak, tangan dan kaki Mak ti tidak pernah berhenti, selalu berputar mencari cara agar tungku didapur terus mengepul. Hari demi hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan bahkan tahun demi tahun Mak Ti terus berputar, bergerak, merangkak, menggapai hidup dan bertahan hidup tanpa lelah, demi anak dan cucu-cucunya,  tanpa lupa memperlihatkan senyum bulan sabitnya. Dan terus mengasuh bayi-bayi anak-anaknya, bayi yang satu tumbuh besar, lahir lagi bayi-bayi yang baru dari rahim putri kandung dan anak mantu. Entah sampai kapan, apakah hingga waktu itu tiba, disaat Mak Ti harus berada didalam keranda, mencium tanah dalam keadaan mata terpejam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar