Minggu, 21 Juni 2020

Cerpen

KASIH NAINA UNTUK MAMA
Oleh : Nur Faizah 

Tepat pukul 09.30 WIB, bel istirahat berdenting. Anak-anak saling berlomba menuju kantin untuk memanjakan lidah dan mengisi perut yang berdemo minta diisi. Setelah retina bergerak menyisir bangku yang mulai bersih dari siswa, ku ayunkan kaki menuju ruang guru. Dengan suara hak sepatu lima centimeter,  langkah ringanku menyusuri lorong kelas, yang mayoritas sepi dari gelak tawa para siswa. Kakipun tak lepas melewati kelas VI B, tanpa sengaja netra membidik seorang dara sedang terpekur sendiri di kelas yang sepi.

"Naina?" tebakku lembut.
Dengan tergeragap, gadis berseragam putih merah itu mengangkat kepalanya.
"Bu Ratih," sapa Naina sambil jemarinya mengusap wajahnya yang basah.
"Kamu, menangis sayang?" tanyaku dengan lembut. Sambil membungkukkan punggung mendekat ke wajah dara yang ayu itu.
Naina terdiam, mengunci rapat lisannya, dan akupun mafhum. Naina, dara kecil usia Sekolah Dasar, berwajah cantik, bermata kucing. Hidup di sebuah rusun  berdua dengan Mamanya. Naina, tidak pernah melihat dan mendengar sosok laki-laki yang bisa dia panggil, Ayah.

Masih membekas sayatan karat di pipi mulusnya. Sayatan itu, dia dapatkan dari mamanya tercinta. Saat jam sekolah, mamanya memanggil Naina. Agar,   membelikan sebungkus sigaret untuknya. Namun, karena Naina masih berkutat dengan soal-soal ulangan. Dia, tidak kunjung memenuhi permintaan mamanya. Sepulang dari sekolah, ketika pintu rumah di buka sebuah asbak merah hati yang sowak berkarat terbang mengenai pipinya.

Naina, gadis tertutup. Apalagi setelah kejadian terbangnya asbak ke wajahnya.  Saat itu, aku membujuknya untuk berkisah asal muasal luka sayatan dipipinya, mendengar  kisahnya hatiku digerogoti rasa geram. Sebagai ibu yang melahirkan Naina dari panggilan jiwa, menetra sayatan karat di pipi mulusnya mengeluarkan nanah segar, mengoyak hatiku.  Seketika itu aku bangkit menggapai gawai di meja, dan menelpon kantor polisi untuk melaporkan kekerasan yang menimpa Naina. Karena, tidak sekali ini saja mamanya melakukan kekerasan fisik dan psikis.
"Jangan laporkan mama, Bu! Saya mohon! Mama, tidak bersalah. Saya yang salah, apabila mamaku dipenjara, saya dengan siapa? Saya mohon, jangan! pinta Naina. Dengan bulir air bening menetes di wajah, memohon. 
('Halo ini dengan kantor polisi sektor Surabaya Timur, ada yang bisa kami bantu?") suara sambutan dari gawaiku. Menetra Naina memohon dengan mata mengemis. Rasa tak tega, mendominasi jiwaku.
("Maaf, Bapak. Saya salah sambung,") jawabku.

Mungkin kejadian yang lewat tidak ingin berulang, membuat Naina kali ini membisu. Aku sendiri mencoba untuk tidak  mengeluarkan kata tanya lebih banyak lagi
Dengan berhati-hati, ku alihkan arah pembicaraan.
"Naina, jangan lupa! Besok kita melihat-lihat pondok yang akan Naina tempati, ya?" Kataku lembut. Dengan jemari membelai rambut lurusnya.
"Iya, Bu. Tapi, saya tidak mempunyai busana muslimah," ucap Naina dengan mata sendu.
"Jangan khawatir, Naina. Nanti sore ibu akan ke rumah, mengantarkan busana muslimah untukmu," jawabku lembut.
"Terimakasih, bu Ratna," ucap Naina dengan senyum merekah. Senyum yang jarang ditemukan di wajah cantiknya.

***
Sebelum senja menyapa, sesuai janjiku kepada Naina. Langkah kakiku mengayun menaiki tangga menuju lantai satu, di sebuah rusun tempat Naina tinggal. Sesampai di lorong ruang-ruang bersekat. Retinaku menemukan Naina, duduk di kursi plastik depan rumah kecilnya. Di atas kertas putih dia menggerakkan pensil hijaunya.
"Assalamu'alaikum, Naina," ucapku ramah dengan senyum simpul.
"Wa'alaikumsalam, bu Ratna!" Serunya senang.
"Lagi menulis apa, Naina?," tanyaku lembut.
"Tidak apa-apa, bu," jawab Naina. Dengan menyembunyikan kertas itu dibalik punggungnya.

"Naina! teriak mama memanggilnya.
Dengan tergopoh-gopoh, Naina masuk ke dalam.
" Daritadi dipanggil tidak datang-datang, kupingmu tuli, hah?  Kamu bicara dengan siapa,?"tanya mamanya melotot.
"Bu Ratna, Ma. Beliau ingin bertemu mama, juga," jawab Naina
"Bilang saja, mama sibuk," jawab mamanya.
Langkah kaki Naina pun bergerak menuju pintu. "Eh tunggu!"
Retina mamanya bergerak menelusuri tubuh putrinya. Kemudian, bangkit dan semakin mendekat.
"Apa itu yang kamu bawa?"tanya mamanya penuh selidik.
"Busana muslimah, ma. Pemberian Bu Ratna. Besok aku akan melihat-lihat pesantren," jawab Naina.
"Apa? Pesantren? tanya mamanya kaget.
"Iya, Ma. Aku dapat beasiswa sekolah di SLTP. Semua gratis, Ma. Untuk tempat tinggal dan makan. Naina, di pesantren akan ikut ndalem," cerita Naina gembira
"Sekolah? Mondok? Memang kau siapa, Naina? Kamu, tidak layak untuk itu semua. Kamu, hanyalah anak yang dilahirkan dari segala benih kemungkaran dan kekejian. Jadi, jangan mimpi untuk merasakan semua itu!" Kemarikan itu! Sini apa-apaan ini!” Busana muslimah dan kertas putih itu diambil paksa oleh mama Naina.
"Ma, mau dibawa kemana baju itu? melihat mamanya mengambil langkah cepat mendekati jendela.
"Jangan dibuang, Ma!" teriak Naina, dengan bulir bening yang melereng.
Kendang Teling Mamanya tak bergeming, dan barang Naina yang telah dirampasnya dilempar keluar.
"Tidak...! Naina menjerit histeris sambil berlari keluar menuruni anak tangga, berusaha menyelamatkan barang-barang itu.
Saat tengah berlari dari arah depan melaju dengan kencang  sebuah Van putih bernopol M. 1245 L menabrak tubuh kecil Naina.

"Braakkk... ! Naina, ketabrak... ,"teriak warga. Aku dan mama Naina terkesiap.
” Jangan, Jangan....” Ucap batinku dan mamanya menerka.
Aku dan mamanya melesat cepat menuruni tangga. Kerumunan orang-orang memenuhi TKP.
Ku singkap tubuh orang-orang yang menghalangi jalan dan pandangan.
"Naina!" teriak histeris dari pita suaraku dan mamanya.
Darah mengalir deras dari kepala gadis itu. Tubuhnya mengejang-ngejang.
Direngkuhlah tubuh Naina dalam pangkuan mamanya.
"Naina, jangan begini! Berhenti pura-pura!" Kata mamanya sambil menahan tangis.
"Apakah Mama sayang, Naina?" tanya Naina dengan tubuh mengejang
"Mama, sayang Naina. Naina satu-satunya," jawab mamanya dengan bulir bening mengalir.
Naina tersenyum, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dengan damai.
"Tidak..! Naina! Jangan tinggalkan Mama!" tangis histeris dari bibir mamanya.

**
Usia pemakaman Naina, selembar kertas putih yang  ditemukan di antara busana muslimah, ku sodorkan pada mamanya.
Netranya menyisir tulisan terakhir putrinya.
"Ma, maafkan Naina. Adanya Naina membuat hidup mama seperti neraka. Naina, ingin melanjutkan pendidikan setinggi mungkin. Naina, ingin menjadi jaksa hebat. Kemudian, mencari mereka para pria, yang telah menodai mama. Sehingga, melahirkan putri seperti saya. Mereka, akan Naina jebloskan ke penjara hingga membusuk. Agar, luka sayatan karat di hati Mama, tidak semakin berkarat. 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar