Minggu, 21 Juni 2020

Bunga Yang Berbunga



Purnama mengapung di air rawa.  Di atas gundukan tanah aku memandangnya dengan sejuta tanya. Sesekali asap tipis mengepul dari bibir hitamku. Helaan nafas berat tak bisa aku elakkan.  Hari ini aku kena PHK dari tempat kerjaku sebagai kuli angkut di toko distributor material bangunan. Mungkin karena tenagaku sudah mulai melemah seiring  usia yang semakin bertambah.

Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan amplop coklat. Kata si bos 'itu uang pesangonku selama bekerja bersamanya'. Aku mengeluarkan isinya yang berupa lembaran-lembaran merah bergambar mawar dan saat ini berada dalam genggaman. Aku pandangi sejenak. Lalu aku masukkan kembali ke dalam amplop coklat. Kemudian bergerak meninggalkan air rawa yang tenang berkilauan oleh cahaya purnama.

Ayam jantan berdendang lantang. Bukan berdendang sebenarnya, mungkin sedang bertakbir dan bertahmid menyambut subuh. Aku masih mendengkur di kasur kapuk yang keras.
 "Kang, bangun subuh!" istriku Saripah menggoyang-goyang tubuhku pelan
"Hmmm," aku enggan bangun karena pikiran sedang stress.
"Bangun Kang!" ucap istriku lagi.
"Iya, ya. Sudah pergi sana. Buatkan aku kopi!" secara halus aku mengusirnya biar tidak berisik. Lalu aku kembali dengan dengkuranku.

"Kang, bangun!" istriku kembali mengguncang tubuhku pelan
"Ada apa lagi?" mataku mengerjap. Lalu menggeliat dengan nyawa masih belum genap.
"Itu ada Bu Painem," ucap istriku lirih.
"Ada keperluan apa Painem mencariku?" aku menatap jam yang bergantung di dinding menunjukkan pukul 07.00 WIB.
"Tidak tahu," jawabnya dengan menggeleng.

Aku pun keluar menemui Painem yang masih berdiri di ruang tamu.
"Eh, bu Painem. Tumben ke sini," aku berbasa - basi.
"Iya pak Parjo. Saya ada perlu," jawab Painem mengulum senyum.
"Ada perlu apa?" tanyaku langsung.
"Saya dengar pak Parjo habis dapat pesangon. Saya mau pinjam uang pak Parjo. Lima juta," ucap Painem.
_Tahu saja kalau ada orang punya duit. Umpama tidak ada duit mana mungkin Painem datang ke rumah_ batinku.
"Wah, uang pesangonku buat kebutuhan dan modal, Bu. Aku sekarang menganggur," jawabku
"Pinjam bentar saja kok, Pak. Sebulan saya lunasi semua. Nanti saya cicil sedikit-sedikit," ucap Painem meminta.
"Waduh gimana ya," hatiku keruh. Pengen menolong tapi uang itu untuk modal jualan es dan pentol. Beli gerobak, sepeda roda dua dan lainnya.
"Tolonglah pak! Saat ini saya butuh uang. Berbunga juga tidak apa-apa. Asal pak Parjo mau memberikan pinjaman," Painem memohon.
_Berbunga?_  batinku dengan mata membulat.
"Saya pikir-pikir dulu ya, Bu. Nanti sore ibu ke sini lagi," aku tersenyum melihat kepergian Painem. Berawal dari itu aku menemukan sebuah ide dari lipatan-lipatan kesusahan tetanggaku.
 _Konsep riba_ aku menyeringai.

Semburat senja terlukis di cakrawala.
"Pak Parjo. Bagaimana? Bisakah pak Parjo memberikan saya pinjaman?" Painem kembali lagi merengek dengan mata berharap.
" Bisa saja. Kamu punya apa yang bisa dijadikan sebagai jaminan?" tanyaku ramah
"Mmm T-tidak punya, Pak," Painem nyengir.
" Kalau tidak punya, bagaimana jika kamu tidak bisa mengembalikan hutangmu?" aku berkata sinis
"Saya akan berusaha membayar hutangku dengan bekerja keras, Pak. Tolonglah saya! Beneran saya tidak punya apa-apa lagi untuk saya jadikan jaminan," Painem memelas.
"Bukankah kamu punya sertifikat tanah?" tanyaku menelisik
"Itu sudah saya sekolahkan ke bank, Pak," Painem nyengir lagi.
"Mmmm," gumamku
"Tolonglah, Pak! Anak saya sakit. Saya juga harus membayar hutang saya," Painem bersimpuh, tangannya memegang kakiku.
"Baiklah, tapi dengan syarat bunganya lebih besar dibanding yang ada jaminannya," aku pura-pura mengalah padahal ini sasaran empuk kalau tidak bisa membayar, aku bisa menyita rumah dan tanahnya. Rencana yang Cerdik. Senyumku menyeringai
"Bagaimana, Bu? Apakah setuju? Kalau tidak mau juga tidak apa-apa," ucapku santai toh dia kelihatan banget kalau butuh uangku.
"Baiklah Pak, saya setuju," jawab Painem pasrah.
"Berapa yang kamu butuhkan? Lima juta ya?" aku mengeluarkan kwitansi penerimaan juga surat perjanjian.
"Iya pak," Painem mengangguk
"Lima juta. Karena tanpa jaminan satu juta dibayar dua minggu bunganya Rp. 250.000. Dalam sebulan bunganya Rp. 500.000. Jadi total hutang ibu Rp. 7.500.000. Bagaimana?” aku menelisik wajahnya.
"Tidak apa-apa, pak Karjo. Yang penting saya dapat pinjaman," jawab Painem. Lalu aku minta dia menandatangani kwitansi penerimaan uang dan surat perjanjian.
"Ini lima juta. Jangan lupa bunganya, jika telat membayar maka ada denda. Mengerti,  Bu?" aku menyodorkan tumpukan uang ke tangannya.
"Saya mengerti, Pak. Terimakasih. Saya pamit dulu. Assalamu'alaikum," ucap Painem dengan wajah berseri-seri.
"Wa'alaikumsalam," aku tersenyum puas.
***
Setelah menemukan konsep itu aku mulai berburu, mulai dari Painem menjalar ke tetangga lain. Bahkan ke tetangga desa. Ke desa lain beda kecamatan kemudian merambah lingkup kabupaten hingga provinsi.  Keuntungan yang aku peroleh sangat maksimal sesuai dengan kehendakku. Aku memanfaatkan kesulitan dan kesusahan orang lain dalam hal finansial. Di tengah kesusahan mereka, aku akan datang sebagai pahlawan memberikan pinjaman untuk membantu finansial mereka dengan jaminan sertifikat tanah atau BPKB kendaraan atau apa saja yang penting barang bergerak. Kalau tidak ada jaminan aku akan memberikan pinjaman dengan bunga yang bermekaran hingga melangit.
Sudah banyak tanah dan rumah serta kendaraan yang aku sita. Aku jadi orang sukses dan bergelimpangan harta.

****
Langit biru terkanvas semburat awan salju. Aku memandangnya dengan hati kelu. Sesekali ku sesap kopi pahit dari cangkir beling warna gading. Tak lupa menghisap sigaret favoritku sebagai lauk kopi ini. Hatiku tercenung.

Aku sudah menjadi seorang pemburu, pemburu sukses di belantika perekonomian negara. Menjadi penghisap darah warga. Hidupku berubah. Aku yang awalnya seorang buruh kasar, sekarang aku menjadi bos besar pemilik sebuah lembaga keuangan pribadi dan mandiri. Namun, aku tidak mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Keluargaku sekarang berubah. Anak-anakku yang dulu penurut ,sekarang tidak menurut lagi. Mereka tidak bisa dinasehati. Jika dikasari mereka melawan. Dilembut mereka ngelunjak. Menghadapi mereka membuatku kelimpungan. selayak membakar mereka dengan api namun tidak terbakar, dicelupkan ke air tidak basah. Istriku juga begitu, menjadi sosialita dan jarang di rumah. Dulu dia penurut sekarang pembangkang.

Aku telah menjadi seorang suami dan ayah "sukses yang gagal".  Ah, mengapa hal ini terjadi padaku? Apakah karena konsep riba itu? Hidup keluargaku menjadi tidak berkah. Uang haram sudah mendarah daging di tubuh anak-anak dan istriku sehingga merubah watak mereka. Haruskah aku berhenti? Jika berhenti ekonomiku akan terjun bebas. Apabila aku teruskan anak istri seperti itu. Bagai makan buah simalakama. Setelah habis menghisap sigaret hingga tinggal puntungnya, menyeruput kopi tinggal ampasnya. Saat bergerak ingin berdiri tubuhku tiba-tiba terhuyung dan ambruk. Aku terkena stroke.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar