Minggu, 21 Juni 2020

Cerpen


BAWA AKU
Oleh : Nur Faizah / Ziza El Faizah

Tak bisakah berjeda sejenak, mencoba menyadari rasa yang tak terbaca oleh mata. Dengan membuang segala ke egoan diri. Ke egoan yang menyakiti hati orang yang dicintai.

Di atas birunya langit, mentari mulai menyemburatkan cahayanya di celah-celah awan.
Di dalam kamar ukuran 3x3 meter, bertembok dinding yang mulai rapuh, cat biru yang mulai memudar. Salah seorang perias pengantin tengah memasangkan ronce kuncup melati  yang menjuntai dari kepala, melewati dada, sampai pinggang pengantin wanita.
"Cantik!" pujinya setelah melihat hasil riasannya.
"Memang pengantinnya cantik. Tanpa riasan pun cantik," sela budhe Fatonah.
"Mana senyumnya? Senyum dong, sayang. Biar semakin cantik" ucap budhe lagi.
Pelan-pelan pengantin wanita itu menarik bibir kanan dan kirinya. Terlukislah sebuah senyuman. Namun, di balik senyum itu ada cahaya mata yang tak berdaya, ada sorot mata yang ingin berontak,  ada mata yang ingin berbicara Namun bibir tak mau berkata.
Satu persatu mereka keluar dari kamar rias pengantin. Meninggalkan sang pengantin duduk termangu di depan cermin.

Dia mematut wajahnya di kaca. Jari lentiknya mengusap pipinya yang ranum.
_Gara-gara wajah yang rupawan ini. Aku menderita dan sebentar lagi masuk ke dalam neraka_
Netranya menyusuri kamar yang dipenuhi kembang-kembang.  Tak sengaja matanya menangkap sebilah cutter di atas kasur. Tanpa sadar dia bergerak mengambil cutter itu. Dengan tangan gemetar dia kembali ke depan cermin. Kemudian pelan-pelan mengarahkan cutter itu di wajahnya yang mulus.
Triing ....
Triing ....
Triing ....
Kotak pintarnya berbunyi, dia terhenyak namun tak bergeming dari tempat duduknya. Dia sudah bisa menebak siapa yang tengah melakukan panggilan itu. Si psikopat yang tak lain adalah calon suaminya.

"Fin, Anas menelpon. Katanya 'sejak tadi menelpon ke nomormu tidak diangkat-angkat," ibu tiba-tiba sudah berdiri di pintu kemudian mendekat menyerahkan gawainya. Fina menempelkan benda itu di telinga kanannya
{Halo sayang}
{Mengapa panggilanku tidak dijawab?}
{Jangan coba-coba melakukan sesuatu yang membuatku marah. Apalagi merusak wajah cantikmu itu! Kamu sudah tahu akan konsekuensinya kan sayang?}
{I-iya jangan khawatir}
{Oke, sayang. Sebentar lagi aku akan berangkat bersama iring-iringan pengantin. Setelah ini kamu akan menjadi milikku sepenuhnya} tawanya menyeringai. _Dari mana dia tahu apa yang mau aku lakukan tadi? Apakah di sini ada CCTV nya?_ bulu Fina bergidik.

Dia menarik napas panjang lalu embusan napas keluar dari rongga hidungnya.
"Ini, Buk," dia menyodorkan gawai ibunya.
"Dia bilang apa?" tanya ibu menelisik
"Dia baru mau berangkat," jawabnya singkat.
Kemudian ibu bergerak pergi meninggalkan kamar. Dia kembali ke depan cermin. Lalu Memori di dalam kepalanya mengajak jiwanya mengingat sebuah pertemuan juga sebuah ikatan yang membuatnya seperti sekarang ini.

Namanya Fina. Dia gadis manis dan cantik. Dia kenal dengan Anas saat mereka masih kuliah. Mereka satu angkatan dan juga satu jurusan. Mereka mulai dekat saat satu kelompok untuk mengerjakan tugas dari dosen.
Menurut Fina, Anas pemuda yang ramah, tutur katanya lembut juga perhatian. Selain itu dia pemuda yang cerdas. Wajahnya tidak tampan, tubuhnya kecil berkulit coklat. Jika mereka jalan bareng dia se pundaknya Fina. Dia selalu membantu Fina mengerjakan tugas-tugas individu. Sabar dan telaten saat menjelaskan materi yang belum Fina pahami. Lama-lama mereka saling jatuh hati. Fina merasa, Anas laki-laki yang layak untuk dijadikan suami. Jadi dia menerimanya saat Anas menembaknya. Fina tidak malu memiliki pacar yang jelek, dekil dan krucil.
"Fin, matamu belekan ya?" sindir Risma sahabatnya saat dia tahu Fina pacaran dengan Anas.
"Apa sih, Ris?" Dia memicingkan mata.
"Kayak tidak ada cowok cakep saja. Mengapa kamu memilih Anas? Kucel gitu. Kalau kalian jalan bareng bagai langit dan bumi, tahu! Apa kamu tidak malu?" celotehnya
"Mengapa mesti malu? Aku sayang sama dia. Aku tidak memandang fisiknya tapi hatinya. Baiik banget. Lembut lagi," tangannya saling meremas gemas sambil mengingat kebaikan hati Anas.
"Terserah kamu, Fin. Benar ya kata pepatah "cinta itu buta". Ya buktinya kamu itu," dia terkekeh.

Tiga bulan mereka berpacaran tanpa ada masalah,  bulan ke empat Anas mulai bersikap posesif terhadap Fina. Wajah Fina  tidak boleh sampai dilihat cowok lain. Setiap berjalan di tempat umum, Fina  harus menutup wajah, kecuali mata. Dia tidak suka jika ada cowok lain menatap ceweknya dengan kagum. Apalagi dengan diiringi  rasa tertarik. Apabila permintaanya tidak dituruti dia akan marah-marah. Meneriaki Fina dengan sumpah serapah juga cacian. Kemudian dia menuduh seolah-olah Fina tidak bisa menerima dia apa adanya. Fina tidak boleh tersenyum pada cowok lain. Pernah dia melihat Fina berbincang dan tertawa dengan seorang cowok padahal temannya juga dia menampar pipi Fina hingga kemerahan.

Lama kelamaan Fina merasa tertekan. Fina sudah merencanakan untuk memutuskannya. Tapi sesuatu terjadi pada keluarganya. Ayah Fina memiliki hutang pada rentenir yang bunganya selangit.  Sementara orang tuanya tidak memiliki apapun. Uang hasil keringat Ayah hanya cukup membayar bunganya.
Masa tenggang untuk pelunasan hutang sudah habis mereka mengobrak-abrik rumah Fina.  Mengancam akan memenjarakan ayahnya. Pada saat kejadian itu ada Anas, dia siap melunasi hutang-hutang ayahnya. Berawal dari itu Fina baru tahu kalau dia anak orang kaya.

Karena dia melunasi hutang-hutang orang tuanya. Rencana untuk memutuskan Anas, tertunda. Anas semakin posesif dan ringan tangan, serta selalu menekannya. Saat Fina hendak menolak lamarannya, dia mengancam akan memenjarakan ayahnya. Akhirnya Fina terpaksa menerima lamarannya dan saat ini adalah hari pernikahan mereka.

 Kristal bening mengalir dari pelupuk matanya. _aku harus bagaimana untuk keluar dari pintu gerbang neraka ini?_ dia menangis pedih.
"Fin, iringan pengantin sudah datang. Ayo, segera bersiap," budhe Fathonah menjemput Fina di dalam kamar.
"Mengapa matamu sembab sayang?" budhe heran
"Tidak apa-apa, Budhe," aku mengusap mataku.

Kaki Fina mengayun pelan menuju pelaminan. Di sana sudah menanti calon suami, ayah, calon mertua pencatat nikah juga naib. Dia merasakan dadanya terhimpit sesuatu, sakit. Semua mata memandangnya dengan penuh kegembiraan juga takjub melihat kecantikannya. Anas tersenyum sumringah menatap calon istrinya yang cantik jelita. "Senyum, sayang," budhe menggandeng Fina. Di hadapan semua orang Fina mengulas senyum tanpa tahu di balik senyum itu ada duka yang menganga. Tak sengaja mata Fina menemukan sosok yang dikenalnya. Sahabat lamanya, Sohib. Matanya menetra mata Sohib dengan berkaca. Hati Sohib berdesir saat menatap mata itu di balik sekulum senyum yang mengembang di bibirnya. _tolong aku sahabatku, bawa aku lari dari tebing keputus asaan ini_ batin Fina masih mengaca menatap pemuda yang berada lurus di depan matanya.

Seperti bisa membaca mata Fina, dia pelan-pelan bergerak, mendekat. Tanpa orang-orang tahu  _apa kamu mau melarikan diri?_ bisik Sohib. _iya, Tapi jika aku melarikan diri ayahku akan dipenjara, hutang ayah kepada calon suamiku sangat besar_ Fina berbisik. _Berapa?_ sohib. _150 juta_
 Tidak usah khawatir nanti aku yang akan membayar hutang ayahmu. "Ayo, ikut aku. Kamu berani? Siapkah Fina?" Sohib menggapai tangan Fina kemudian menggandengnya dan membawanya lari dari pernikahannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar