Minggu, 21 Juni 2020

Cerpen

CINTA BERSEMI DI QOLBU YANG MERINDU
Oleh Nur Faizah/ ziza el faizah

Daun yang berguguran tidak pernah menyalahkan angin yang melaluinya. Karena ada keyakinan akan qada’ qadar dari Tuhannya.
Pun dengan jodoh yang secepatnya tiba semua tak lepas dari takdirNya.
Seorang  hamba yang beriman pasti mengetahui bahwa datangnya kelahiran, kematian, rezeki, jodoh, bahagia atau celaka semua sudah ditentukan waktunya sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi,  tertulis di Lauhul Mahfudz. Namun bagaimana jadinya apabila jodoh hadir di saat seseorang belum siap dengan jodoh itu. Kemudian menyalahkan pasangan jiwanya? Perlu waktu berapa lama untuk mengetuk dan menyadarkan hati akan qada’ dan qadar Allah? 

Semburat swastamita meleleh oleh bulir-bulir bening nan renik dari cakrawala. Pesonanya sudah memudar sejak mendung hitam menyergap tanpa bahasa. Di sebuah bangunan yang dijuluki "mushola putri" para santriwati nderes hafalan, suara mereka seperti dengungan lebah yang kegirangan ketika mendapatkan nektar.
Program harian pondok Tahfidzul Qur'an At Taqwa setiap sore terus berjalan tanpa mengenal musim hujan atau kemarau. Seperti sore ini, meski rinai hujan semakin menderas, kegiatan rutin berupa muroja'ah hafalan dan menambah hafalan untuk bekal setoran esok paginya tetap berlangsung.

Kegiatan sore ini juga dimanfaatkan oleh sebagian santriwati  untuk memahami makna yang tersirat dan tersurat di dalam ayat-ayat Tuhan yang dibacanya.
 " Tika, tolong simak aku ya,"  aku mentowel lengannya dengan penggaris. Karena jarak kami tidak berdekatan.  Dia yang sedang merem-melek, komat-kamit mencoba mengingat hafalannya menoleh. Kepalanya digerakkan-gerakkan ke atas memberi kode agar aku mengulang apa yang aku katakan.
"Si-mak-a-ku!" memberi penekanan pada  kata-kataku. Dengan sedikit menaikkan  volume suara. Sambil mengangkat mushaf Al Qur'an. Lalu tubuh dan tanganku bergerak mendekat menyodorkan mushaf ke tangan Tika.
"Ooo, ok! Nanti gantian ya," bibirnya membentuk bulan sabit yang tipis. Dia meletakkan mushafnya di atas dampar. Lalu mengambil alih mushaf dari tanganku
"Yang mana?" tanyanya sambil menelisik huruf-huruf arab yang tersusun indah.
"Surat An Nisa ayat 5," jawabku. Aku pun mulai bersiap-siap menggerakkan bibir untuk menghafal.
"Dimulai dari ayat satu saja ya. Biar mudah aku menyimaknya," Tika memberikan tawaran.
"Ya sudah. Mulai ayat satu tidak apa-apa," aku pasrah dan mulai melantunkan ayat satu dari surat An Nisa'. Kemudian melanjutkan ayat ke dua.
"Wa aatul yataama amwaa lahum..
"Eh, tunggu! Jangan dilanjut dulu! Ayat satu kamu sudah mengetahui artinya belum? Kemudian memahami maknanya, karena sangat berguna untuk memudahkan muroja'ah kita, lho. Juga dapat memudahkan menancapkan hafalan ke dalam qolbu kita" ucapnya panjang kali lebar
"Sudah," aku menjawab singkat lalu mulai melanjutkan ayat dua
"Apa coba?" tanyanya menghentikan bibirku. Wajahnya mendongak menatapku
"Mmm, kalau tidak salah setiap manusia itu diciptakan berpasang-pasangan," pupilku bergerak ke kanan kiri atas bawah untuk mengingatnya.
"Kok, ragu gitu. Kita pelajari lagi ya," dia melirikku
"Iya, boleh," aku menjawab singkat

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu Yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan darinya Dia menciptakan jodohnya, dan mengembang-biakan dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan; dan bertakwalah kepada Allah swt. yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya, terutama mengenai hubungan tali kekerabatan. Sesungguhnya Allah swt. adalah pengawas atas kamu.” ( Q.S. An Nisa' ayat 01)"

"Benar katamu, Fa. Surat An Nisa' ayat satu tentang jodoh. Setiap jiwa sudah ditetapkan pasangannya. Mmm, berarti aku juga sudah ada jodohnya, siapa ya kira-kira yang akan menjadi jodohku? Di mana dia saat ini? Terus kapan aku dipertemukan dengan jodohku itu?" kepalanya mendongak dengan mata mengerjap-ngerjap, dan mungkin pikirannya sekarang menerawang entah ke mana.
"Hey, fokus ke hafalanmu dulu! Masih bayi gitu sudah mikir tentang jodoh," aku mengibaskan tangan ke wajahnya yang hitam manis itu. Lalu menepuk bahunya pelan sambil terkekeh.
Dia cemberut, bibirnya manyun tiga centi. Aku semakin terkekeh.
Usai muroja'ah kami merebahkan tubuh di lantai berkeramik warna gading yang sebagian sudah retak. Pikiranku teringat beberapa ustaz dan kang-kang ndalem yang pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Namun hatiku sama sekali tidak terketuk, mungkin mereka bukan jodoh yang ditentukan oleh Allah untukku, pantaslah dalam menanggapi ketulusan mereka hatiku tak bergeming, kaku, dingin, keras seperti karang di lautan lepas.

"Farida, apa kamu pernah jatuh cinta? Kamu cantik, putih, lemah lembut pasti banyak yang menaruh hati padamu. Seperti ustaz Arif, kang Shodiq dan yang lainnya. Di antara mereka tidak adakah yang kamu sukai?" tanya Tika memecah lamunanku.
"Pembicaraan apa sih, Tik. Tidak ada faedahnya," jawabku sambil menerawang menatap pilar-pilar mushola.
"Normal kali, Fa. Kalau kamu tidak bisa merasakan cinta wah, perlu di periksakan ke psikiater siapa tahu kamu tidak normal," balas Tika cengengesan.
"Ah, kamu bisa saja. Kamu tahu sendiri bagaimana perjuanganku agar bisa mondok di sini, jadi kamu pasti ngerti hal utama dan pertama bagiku adalah menghafal Al Qur'an. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini" balasku
"Iya, deh. Serius amat," dia terkekeh.
"Ohya, tadi siang ibumu telpon kan? Ada apa?" kepalanya menoleh ke arahku.
"Aku disuruh pulang besok pagi," jawabku
"Ada acara kah? Tidak biasanya, selain waktu liburan, kamu tidak akan diperbolehkan pulangkan?" matanya menelisik
"Aku tidak tahu. Hanya aku disuruh pulang gitu aja," aku menjawab tanpa menatapnya.

Bening embun masih asyik bercengkrama dengan bunga dan dedaunan. Mentari masih enggan menampakkan romannya. Udara basah sisa hujan semalam masih terasa saat aku keluar dari pintu gerbang pesantren menuju jalan raya.

Di dalam sebuah bus antar daerah aku menikmati perjalanan pulang, tampak hamparan lautan dengan riak kecil meninggalkan buih-buih putih. Perahu nelayan mulai mendermaga dan para nelayan mengangkut hasil tangkapan ikannya.

Tak terasa enam jam perjalanan sudah kulalui dan kakiku saat ini sudah berpijak di teras rumah.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam," Ibu menyambutku dengan seuntaian senyum mengembang.
"Ada apa ibu memintaku pulang?" tanyaku setelah mencium lembut punggung tangannya.
"Kamu cuci muka, tangan dan kaki dulu. Nanti ibu akan jelaskan," jawab ibu.
Setelah dari kamar mandi dan merasakan kesegaran air yang mengalir di wajahku, aku kembali menemui ibu yang saat itu tengah menonton acara kesukaannya di televisi.
"Kamu tidak makan dulu?" tanya ibu
"Insyaallah puasa," jawabku kemudian mengambil posisi duduk di lantai yang sudah dialasi karpet biru.
"Ada apa to, Bu. Saya kok disuruh pulang?" tanyaku membuyarkan pandangan ibu dari televisi.
Ibu mengecilkan volume televisi yang sedari tadi menguar ke seluruh ruangan.
"Begini, Nduk. Sebelumnya ibu minta tolong, kamu jangan salah paham ya!" ibu menatapku lalu tangannya memegang tanganku. "Besok, akan ada tamu yang datang. Tujuannyamelamarmu," ucap Ibu pelan, lembut dan penuh kehati-hatian.
"Melamarku? Maksud ibu?" aku terlonjak kaget
"Abahmu ingin menikahkan kamu dengan anak temannya," jawab ibu dengan pandangan mata yang tak berdaya
"Tapi, saya belum siap dan masih ingin mondok Bu. Hafalanku baru dapat 8 juz. Baru 6 bulan aku mondok di sana," mataku mulai mengembun.
"Iya, ibu paham. Tapi bagaimana lagi itu sudah keputusan Abahmu. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa," mata ibu mulai berkaca.
"Tolong, Nduk. Kamu nurut ya. Biar beban keluargamu berkurang. Kamu tahu keadaan ekonomi kita. Ke enam adikmu masih kecil-kecil butuh biaya. Jika kamu menikah satu beban berkurang" ibu mulai terisak. Aku sendiri tidak tega melihatnya. Mungkin ibu juga tidak berdaya menolak keputusan Abah.
Aku pun hanya bisa pasrah dengan jalan hidupku ke depannya.


Acara lamaran berlangsung lancar, dan diputuskan ijab qobul dilaksanakan sebulan lagi. Aku sendiri belum tahu wajah calon suamiku. Hanya tahu lewat foto yang ditunjukkan oleh ibuku.

Waktu terus bergulir dan tanpa terasa ijab qobul telah terlaksana. 
Meskipun pernikahanku dilaksanakan secara sederhana jauh dari kata mewah tapi penuh khidmat dan kesakralan. Aku pun sah menjadi istri seorang pemuda yang bernama, Ahmad. Kata adikku dia hitam manis. Tapi bagiku dia sangat jelek dari sisi manapun. Gara-gara keberadaan laki-laki itu, aku tidak bisa mondok lagi.

Seusai acara pernikahan. Di dalam kamar pengantin yang berukuran 3x3 meter. Aku hanya meng-arca. Tak tahu harus bagaimana dengan seseorang yang asing yang belum aku kenal watak dan wateknya. Hanya perasaan benci membuncah dalam jiwa yang merana oleh hangusnya sebuah impian. Setiap melihat wajahnya aku merasa muak, tak sudi bila aku disentuh olehnya. Apabila dia mendekat tubuhku  menggeser menjauh, bulu kudukku meremang, jijik. Hingga malam pertama kami lalui dalam diam. Tanpa laku, bahasa juga suara.

Semalam bersama laki asing membuatku tidak bisa memejamkan mata dengan nyenyak. Takut diapa-apain. Pagi hari aku tidur seharian tanpa mempedulikan laki-laki itu yang statusnya menjadi suamiku.
“Nduk, bangun. Suamimu tidak kamu ladeni? Ambilkan makan dari tadi aku lihat belum makan apapun,” ibu mengguncang tubuhku. Aku hanya menggeliat.
“Dosa lho, Nduk. Jika mengabaikan suami,” ucap ibu lagi. Sambil mengerjap dan mengucek mata,  dengan terpaksa aku bangkit dari pembaringan dan mengambilkan dia makan.

Dua pekan kemudian aku meminta di antarkan ke pondok untuk berpamitan sekaligus mengambil barang-barang yang masih ada di sana.
Setelah sowan dan pamit untuk boyong kepada Bu Nyai dan Pak Kyai. Aku pun menuju kamar untuk mengambil barang-barang ku juga menemui teman-teman se kamar untuk berpamitan.
“Farida, kamu jahat! Pamit pulang tidak balik-balik ke pondok dan sekarang kamu datang untuk berpamitan?” Tika mengomel dengan mata berembun.
“Apa kamu masih menganggapku sahabat? Menikah pun kamu tidak memberitahu apalagi mengundangku,” dia menangis.
“Maafkan aku, Tika. Semua di luar kehendak dan kuasaku. Maafkan aku ya,” kami berpelukan erat sebagai tanda perpisahan. 

***
Aku diboyong ke rumah suamiku, berpisah dengan orang tua dan adik-adikku. Kami hanya berdua di rumah yang sudah disediakan oleh orang tua suami. Sikapku masih sama tetap mensalju, setiap hari aku mengisi waktuku dengan hafalan dan beribadah. Aku hanya mau masak, bersih-bersih dan mencuci pakaian.  Untuk melayaninya, no! Aku tetap tidak mau disentuh olehnya. Dia pun tidak berani menyentuhku. Jika dia keluar malam dan pulang dini hari aku tidak peduli. Semakin lama kebencianku menggunung  apalagi jika ingatan akan  impianku yang kandas datang  mengintai  karena dialah impianku menjadi penghafal Al Qur'an memudar, mendebu tak tersisa.

Aku berharap dengan sikap dan perangaiku itu, dia tidak betah, marah kemudian menceraikan aku. Apabila kami bercerai,  aku akan terlepas darinya kemudian bisa kembali ke pondok untuk melanjutkan hafalanku.
Akan tetapi apa yang terjadi? Setelah pernikahan berjalan satu tahun, harapanku tidak berwujud karena dia begitu sabar menghadapi sikapku. Dia sabar menungguku meski aku selalu menolaknya. Dia sangat menghormati  dan memperlakukan aku dengan baik. Ketika berbicara pun lemah lembut, dan tidak pernah aku  mendengar dia berkata kasar kepdaku apalagi membentak atau memarahiku. Dia selalu tersenyum di depanku. Saat aku jatuh sakit dia menjagaku siang malam dengan penuh kekhawatiran tapi aku masih menyalju. Hatiku tak bergeming untuk membuka atau merasakan iba apalagi simpati.

Suatu hari di ujung senja. Dia sudah rapi dengan pakaian Koko dan kopyah putihnya.
"Dik, apa kamu ingin melanjutkan hafalanmu?" dia mengambil tempat duduk di sebelahku saat aku tengah muroja'ah hafalan.
Hatiku terlonjak, bercampur tak percaya saat mendengar pertanyaan itu.
"Iya. Tapi percuma," jawabku ketus.
"Percuma bagaimana?" dia menelisik
"Meskipun aku ingin melanjutkan hafalan pasti tidak akan bisa karena sudah terikat oleh pernikahan," aku mencebik-cebik ketus dengan mata mulai berembun.
"Siapa bilang tidak bisa. Kamu bisa melanjutkan hafalanmu, Dik.  Meskipun kamu sudah menikah denganku," jawabnya terkekeh. Dia selalu begitu dalam menanggapi sikapku yang judes, jutek dan dingin. Pasti aku selalu ditertawakan. Dia santai gitu kayak di pantai.
"Benarkah? Serius?" Mataku membulat tak percaya dengan yang aku dengar.
"Serius. Dua rius malah," jawabnya tersenyum dan tampak deret giginya yang putih rapi.
"Bener?"  mataku menelisik irisnya yang hitam untuk mendapatkan jawaban atas keseriusannya.
"Beneran. Sekarangpun kita bisa mencari pondok tahfidz untukmu. Tidak mengapa kamu di pondok. Sepekan sekali aku akan menyambangimu," ucapnya dengan masih mengulum senyum.
"Terserah mau mondok berapa lama. Aku ikuti kemauanmu," ucapnya lagi.
"A-apakah mas ikhlas dan ridho jika aku mondok dan tidak serumah denganmu?" Embun di mataku semakin menumpuk.
"Aku ikhlas dan ridho, dik," ucapnya serius.
"Terimakasih, Mas," bulir bening mengalir menganak sungai. Bulir bening rasa haru dan bahagia.

Ba'da Maghrib, dia mengajakku berkeliling mencari pondok tahfidz yang cocok untukku dan mau menerimaku sebagai santri di sana.  Ternyata diam-diam jauh hari dia sudah mencari banyak informasi terkait pondok tahfidz di sekitar wilayah sini.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam," sambut nyai Ifah pemilik pondok tahfidz Al Khoiriyah.
"Lho, kamu Ahmad?" Nyai Ifa kaget. Ternyata mereka pernah satu kelas. Suami nyai Ifah juga teman satu kamar dengan suamiku saat mondok di Langitan.
"Ada apa? Kok tumben seorang Ahmad datang ke sini?" tanya Abah Rouf terkekeh
"Jangan gitu lah kang, eh Bah," balasnya canggung. Mungkin tidak menyangka temannya yang memiliki pondok ini.
Kami pun mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan kami.
"Iya, tidak apa-apa nanti bisa mondok di sini. Bila kamu ingin sambang istrimu kapanpun tak masalah, Ahmad. Saya sediakan kamar khusus buat kalian," ucap Abah Rouf tertawa menggoda.

Keesokan harinya, dia yang paling sibuk menyiapkan segala keperluanku selama di pondok nanti. Hatiku merasa bahagia karena impianku akan tercapai. Kami  pun berangkat
mengendarai  sepeda motor.
Saat sudah di pondok, kami disambut oleh keluarga ndalem dengan ramah dan hangat. Setelah berbincang-bincang, dia pun mengutarakan niatnya untuk nitip dan memasrahkan aku ke keluarga ndalem. Kemudian pamit pulang dan meninggalkan aku di sini. Meskpun hati senang namun dalam hati merasa ada yang hilang, dan kurang.

Sebulan aku berada di pondok ini dengan aktivitas menghafal dan menghafal. Alhamdulillah hafalanku sudah bertambah yang awalnya delapan juz, sekarang sudah mendapatkan sepuluh Juz. Hampir empat pekan dia tidak mengunjungiku padahal janjinya sepekan akan berkunjung. Uang yang dia berikan pun sudah menipis belum lagi besok waktunya membayar syahriyah pondok. Di samping itu ada lagi satu masalah yang aku tidak mengerti masalahnya apa. Bila usai menghafal dan saat ditinggal teman-teman kamar sekolah formal. Aku merasa resah kemudian mulai terbayang-bayang akan wajah suamiku. Terkadang ingin sekali bertemu walau sesaat. Apabila hal itu menghampiriku, ada rasa yang aneh meletup dalam jiwa. Ada rasa yang asing saat teringat dengan sosoknya.
Sudah sebulan lebih dia belum juga menunjukkan batang hidungnya membuat hatiku tak tenang. Tidak mungkin dia ingkar janji, dan melupakan istrinya di sini.  Setiap sore aku menanti dia tak kunjung sambang.
Berawal dari hati yang tak tenang, aku pun nekad pulang.

Sesampai di rumah, tanganku mengetuk-ngetuk pintu berulang bersama dengan mengucap salam namun, tak jua ada sambutan.
_ sepi, kemana?_
"Lho, Mbak Farida. Kok di rumah? Barusan datang dari rumah sakit ya.  Gimana kabar pak Ahmad? Dengar-dengar masih tak sadarkan diri. Apa sekarang beliaunya sudah sadar?" cecar Mbak Ida tetangga sebelah kanan rumah.
Deg!
“M-maksud Mbak Ida apa?” tanyaku kebingungan.
"R-rumah sakit? Tak sadarkan diri? Siapa?" tanyaku lagi dengan hati keruh
"Lho, Mbak Farida tidak tahu?" tanyanya dengan tatapan aneh dan kaget.
"Aku baru datang dari pondok, Mbak," jawabku luruh.
"Ya Allah, Mbak. Pak Ahmad kecelakaan, sudah tiga minggu yang lalu. Katanya mau ke Suci saat di perjalanan sepedanya tabrakan dengan truk," terangnya
"Innalilaahi... Suci? Ya Allah, Itu artinya dia mau menyambangiku?" bulir bening mulai mengalir di pipiku. Rasanya tidak percaya dengan yang aku dengar.
Tiba-tiba tubuhku limbung, beberapa menit kemudian tumbang ke lantai.
"Mbak, Mbak Farida!" teriak mbak Ida saat mendapati tubuhku ambruk di lantai.

Setelah tersadar aku langsung melesat menuju ke rumah sakit tempat mas Ahmad di rawat. Tubuhnya  masih tergeletak tak berdaya dengan berbagai macam alat yang dipasangkan dijasadnya.
Irisku makin basah dan kantong air mataku mengeluarkan air mata yang makin lama menderas.
Perasaan sedih, takut campur aduk menggelayuti hatiku. Sedih melihat dia dalam kondisi seperti itu. Ada Rasa takut bila kehilangannya. Iya, aku mulai merasakan betapa berharganya dia dalam hidupku. Dalam hati aku mulai mengimani bahwa dialah jodoh yang sudah ditetapkan untukku. seperti yang telah diterangkan dalam Qur'an surat  An- Nisa' ayat 1. Dialah jodoh untuk jiwaku.  Hati ini mulai disapa oleh letupan rasa. Rasa yang belum pernah aku rasakan. Rasa cinta. Meski terlambat menyadari rasa ini tapi aku merasa sangat bahagia dapat mencintainya.

Aku bergerak mendekati tubuh yang terbaring lemah.
“Mas, bangunlah. Jangan lama-lama tidurnya!  Banyak hal yang harus kita bicarakan. Aku telah berdosa kepadamu, Mas. Berdosa kepada Tuhanku, yang tidak bersyukur atas anugerah yang diberikan kepadaku, berupa suami sepertimu. Tak seharusnya aku menyalahkan dirimu, Mas. Karena semua sudah menjadi ketetapanNya. Takdirku. Maafkan aku, Mas. Tolong cepatlah bangun. Aku tidak ingin kehilanganmu,” bulir bening merembes dari netraku. 
Aku membelai tangan, rambut kemudian wajah manisnya. Sambil merapalkan do'a agar dia segera membuka mata. Kemudian menggapai hati dan tangan ini  ke dalam genggamannya. Aku akan menanti hingga dia bangun dari komanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar