CINTA
BERSEMI DI QOLBU YANG MERINDU
Oleh
Nur Faizah/ ziza el faizah
Daun yang
berguguran tidak pernah menyalahkan angin yang melaluinya. Karena ada keyakinan
akan qada’ qadar dari Tuhannya.
Pun dengan jodoh yang secepatnya tiba
semua tak lepas dari takdirNya.
Seorang hamba yang beriman pasti mengetahui bahwa datangnya kelahiran, kematian, rezeki, jodoh, bahagia atau celaka semua sudah ditentukan waktunya sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, tertulis di Lauhul Mahfudz. Namun bagaimana jadinya apabila jodoh hadir di saat seseorang belum siap dengan jodoh itu. Kemudian menyalahkan pasangan jiwanya? Perlu waktu berapa lama untuk mengetuk dan menyadarkan hati akan qada’ dan qadar Allah?
Seorang hamba yang beriman pasti mengetahui bahwa datangnya kelahiran, kematian, rezeki, jodoh, bahagia atau celaka semua sudah ditentukan waktunya sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, tertulis di Lauhul Mahfudz. Namun bagaimana jadinya apabila jodoh hadir di saat seseorang belum siap dengan jodoh itu. Kemudian menyalahkan pasangan jiwanya? Perlu waktu berapa lama untuk mengetuk dan menyadarkan hati akan qada’ dan qadar Allah?
Semburat swastamita meleleh oleh bulir-bulir bening nan renik dari cakrawala. Pesonanya sudah memudar sejak mendung hitam menyergap tanpa bahasa. Di sebuah bangunan yang dijuluki "mushola putri" para santriwati nderes hafalan, suara mereka seperti dengungan lebah yang kegirangan ketika mendapatkan nektar.
Program harian
pondok Tahfidzul Qur'an At Taqwa setiap sore terus berjalan tanpa mengenal
musim hujan atau kemarau. Seperti sore ini, meski rinai hujan semakin menderas,
kegiatan rutin berupa muroja'ah hafalan dan menambah hafalan untuk bekal
setoran esok paginya tetap berlangsung.
Kegiatan sore ini juga dimanfaatkan oleh sebagian santriwati untuk memahami makna yang tersirat dan tersurat di dalam ayat-ayat Tuhan yang dibacanya.
" Tika, tolong simak aku ya," aku mentowel lengannya dengan penggaris.
Karena jarak kami tidak berdekatan. Dia
yang sedang merem-melek, komat-kamit mencoba mengingat hafalannya menoleh.
Kepalanya digerakkan-gerakkan ke atas memberi kode agar aku mengulang apa yang
aku katakan.
"Si-mak-a-ku!"
memberi penekanan pada kata-kataku. Dengan
sedikit menaikkan volume suara. Sambil
mengangkat mushaf Al Qur'an. Lalu tubuh dan tanganku bergerak mendekat
menyodorkan mushaf ke tangan Tika.
"Ooo, ok!
Nanti gantian ya," bibirnya membentuk bulan sabit yang tipis. Dia meletakkan mushafnya
di atas dampar. Lalu mengambil alih
mushaf dari tanganku
"Yang
mana?" tanyanya sambil menelisik huruf-huruf arab yang tersusun indah.
"Surat An Nisa ayat 5," jawabku. Aku pun mulai bersiap-siap menggerakkan bibir untuk menghafal.
"Dimulai dari ayat satu saja ya. Biar mudah aku menyimaknya," Tika memberikan tawaran.
"Ya sudah. Mulai ayat satu tidak apa-apa," aku pasrah dan mulai melantunkan ayat satu dari surat An Nisa'. Kemudian melanjutkan ayat ke dua.
"Surat An Nisa ayat 5," jawabku. Aku pun mulai bersiap-siap menggerakkan bibir untuk menghafal.
"Dimulai dari ayat satu saja ya. Biar mudah aku menyimaknya," Tika memberikan tawaran.
"Ya sudah. Mulai ayat satu tidak apa-apa," aku pasrah dan mulai melantunkan ayat satu dari surat An Nisa'. Kemudian melanjutkan ayat ke dua.
"Wa aatul yataama amwaa lahum..
"Eh, tunggu! Jangan dilanjut dulu! Ayat
satu kamu sudah mengetahui artinya belum? Kemudian memahami maknanya, karena
sangat berguna untuk memudahkan muroja'ah kita, lho. Juga dapat memudahkan
menancapkan hafalan ke dalam qolbu kita" ucapnya panjang kali lebar
"Sudah,"
aku menjawab singkat lalu mulai melanjutkan ayat dua
"Apa
coba?" tanyanya menghentikan bibirku. Wajahnya mendongak menatapku
"Mmm, kalau tidak salah setiap manusia itu diciptakan berpasang-pasangan," pupilku bergerak ke kanan kiri atas bawah untuk mengingatnya.
"Mmm, kalau tidak salah setiap manusia itu diciptakan berpasang-pasangan," pupilku bergerak ke kanan kiri atas bawah untuk mengingatnya.
"Kok, ragu gitu. Kita pelajari lagi ya,"
dia melirikku
"Iya,
boleh," aku menjawab singkat
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu Yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan darinya Dia menciptakan jodohnya, dan mengembang-biakan dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan; dan bertakwalah kepada Allah swt. yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya, terutama mengenai hubungan tali kekerabatan. Sesungguhnya Allah swt. adalah pengawas atas kamu.” ( Q.S. An Nisa' ayat 01)"
"Benar katamu, Fa. Surat An Nisa' ayat satu tentang jodoh. Setiap jiwa sudah ditetapkan pasangannya. Mmm, berarti aku juga sudah ada jodohnya, siapa ya kira-kira yang akan menjadi jodohku? Di mana dia saat ini? Terus kapan aku dipertemukan dengan jodohku itu?" kepalanya mendongak dengan mata mengerjap-ngerjap, dan mungkin pikirannya sekarang menerawang entah ke mana.
"Hey, fokus ke hafalanmu dulu! Masih bayi
gitu sudah mikir tentang jodoh,"
aku mengibaskan tangan ke wajahnya yang hitam manis itu. Lalu menepuk bahunya
pelan sambil terkekeh.
Dia cemberut,
bibirnya manyun tiga centi. Aku semakin terkekeh.
Usai muroja'ah kami merebahkan tubuh di lantai berkeramik warna gading yang sebagian sudah retak. Pikiranku teringat beberapa ustaz dan kang-kang ndalem yang pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Namun hatiku sama sekali tidak terketuk, mungkin mereka bukan jodoh yang ditentukan oleh Allah untukku, pantaslah dalam menanggapi ketulusan mereka hatiku tak bergeming, kaku, dingin, keras seperti karang di lautan lepas.
"Farida, apa kamu pernah jatuh cinta? Kamu cantik, putih, lemah lembut pasti banyak yang menaruh hati padamu. Seperti ustaz Arif, kang Shodiq dan yang lainnya. Di antara mereka tidak adakah yang kamu sukai?" tanya Tika memecah lamunanku.
"Pembicaraan apa sih, Tik. Tidak ada faedahnya," jawabku sambil menerawang menatap pilar-pilar mushola.
Usai muroja'ah kami merebahkan tubuh di lantai berkeramik warna gading yang sebagian sudah retak. Pikiranku teringat beberapa ustaz dan kang-kang ndalem yang pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Namun hatiku sama sekali tidak terketuk, mungkin mereka bukan jodoh yang ditentukan oleh Allah untukku, pantaslah dalam menanggapi ketulusan mereka hatiku tak bergeming, kaku, dingin, keras seperti karang di lautan lepas.
"Farida, apa kamu pernah jatuh cinta? Kamu cantik, putih, lemah lembut pasti banyak yang menaruh hati padamu. Seperti ustaz Arif, kang Shodiq dan yang lainnya. Di antara mereka tidak adakah yang kamu sukai?" tanya Tika memecah lamunanku.
"Pembicaraan apa sih, Tik. Tidak ada faedahnya," jawabku sambil menerawang menatap pilar-pilar mushola.
"Normal
kali, Fa. Kalau kamu tidak bisa merasakan cinta wah, perlu di periksakan ke psikiater siapa tahu kamu tidak
normal," balas Tika cengengesan.
"Ah,
kamu bisa saja. Kamu tahu sendiri bagaimana perjuanganku agar bisa mondok di
sini, jadi kamu pasti ngerti hal utama dan pertama bagiku adalah menghafal Al
Qur'an. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini" balasku
"Iya, deh. Serius amat," dia terkekeh.
"Ohya, tadi
siang ibumu telpon kan? Ada
apa?" kepalanya menoleh ke arahku.
"Aku disuruh pulang besok pagi," jawabku
"Aku disuruh pulang besok pagi," jawabku
"Ada acara kah? Tidak biasanya, selain waktu
liburan, kamu tidak akan diperbolehkan pulangkan?" matanya menelisik
"Aku tidak
tahu. Hanya aku disuruh pulang gitu aja,"
aku menjawab tanpa menatapnya.
Bening embun masih asyik bercengkrama dengan bunga dan dedaunan. Mentari masih enggan menampakkan romannya. Udara basah sisa hujan semalam masih terasa saat aku keluar dari pintu gerbang pesantren menuju jalan raya.
Bening embun masih asyik bercengkrama dengan bunga dan dedaunan. Mentari masih enggan menampakkan romannya. Udara basah sisa hujan semalam masih terasa saat aku keluar dari pintu gerbang pesantren menuju jalan raya.
Di dalam sebuah bus antar daerah aku menikmati perjalanan pulang, tampak hamparan lautan dengan riak kecil meninggalkan buih-buih putih. Perahu nelayan mulai mendermaga dan para nelayan mengangkut hasil tangkapan ikannya.
Tak terasa enam jam perjalanan sudah kulalui dan kakiku saat ini sudah berpijak di teras rumah.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam," Ibu menyambutku dengan seuntaian senyum mengembang.
"Ada apa ibu memintaku pulang?" tanyaku setelah mencium lembut punggung tangannya.
"Kamu cuci muka, tangan dan kaki dulu. Nanti ibu akan jelaskan," jawab ibu.
Setelah dari kamar mandi dan merasakan kesegaran air yang mengalir di wajahku, aku kembali menemui ibu yang saat itu tengah menonton acara kesukaannya di televisi.
"Kamu tidak makan dulu?" tanya ibu
"Insyaallah
puasa," jawabku kemudian mengambil posisi duduk di lantai yang sudah
dialasi karpet biru.
"Ada apa to, Bu. Saya kok disuruh pulang?"
tanyaku membuyarkan pandangan ibu dari televisi.
Ibu mengecilkan volume televisi yang sedari tadi menguar ke seluruh ruangan.
"Begini, Nduk. Sebelumnya ibu minta tolong, kamu jangan salah paham ya!" ibu menatapku lalu tangannya memegang tanganku. "Besok, akan ada tamu yang datang. Tujuannyamelamarmu," ucap Ibu pelan, lembut dan penuh kehati-hatian.
Ibu mengecilkan volume televisi yang sedari tadi menguar ke seluruh ruangan.
"Begini, Nduk. Sebelumnya ibu minta tolong, kamu jangan salah paham ya!" ibu menatapku lalu tangannya memegang tanganku. "Besok, akan ada tamu yang datang. Tujuannyamelamarmu," ucap Ibu pelan, lembut dan penuh kehati-hatian.
"Melamarku?
Maksud ibu?" aku terlonjak kaget
"Abahmu
ingin menikahkan kamu dengan anak temannya," jawab ibu dengan pandangan
mata yang tak berdaya
"Tapi, saya
belum siap dan masih ingin mondok Bu. Hafalanku baru dapat 8 juz. Baru 6 bulan
aku mondok di sana," mataku mulai mengembun.
"Iya, ibu
paham. Tapi bagaimana lagi itu sudah keputusan Abahmu. Ibu tidak bisa berbuat
apa-apa," mata ibu mulai berkaca.
"Tolong,
Nduk. Kamu nurut ya. Biar beban
keluargamu berkurang. Kamu tahu keadaan ekonomi kita. Ke enam adikmu masih kecil-kecil
butuh biaya. Jika kamu menikah satu beban berkurang" ibu mulai terisak.
Aku sendiri tidak tega melihatnya. Mungkin ibu juga tidak berdaya menolak
keputusan Abah.
Aku pun hanya
bisa pasrah dengan jalan hidupku ke depannya.
Acara lamaran berlangsung lancar, dan diputuskan ijab qobul dilaksanakan sebulan lagi. Aku sendiri belum tahu wajah calon suamiku. Hanya tahu lewat foto yang ditunjukkan oleh ibuku.
Waktu terus bergulir dan tanpa terasa ijab qobul telah terlaksana.
Meskipun pernikahanku dilaksanakan secara sederhana jauh dari kata mewah tapi penuh khidmat dan kesakralan. Aku pun sah menjadi istri seorang pemuda yang bernama, Ahmad. Kata adikku dia hitam manis. Tapi bagiku dia sangat jelek dari sisi manapun. Gara-gara keberadaan laki-laki itu, aku tidak bisa mondok lagi.
Seusai acara pernikahan. Di dalam kamar pengantin yang berukuran 3x3 meter. Aku hanya meng-arca. Tak tahu harus bagaimana dengan seseorang yang asing yang belum aku kenal watak dan wateknya. Hanya perasaan benci membuncah dalam jiwa yang merana oleh hangusnya sebuah impian. Setiap melihat wajahnya aku merasa muak, tak sudi bila aku disentuh olehnya. Apabila dia mendekat tubuhku menggeser menjauh, bulu kudukku meremang, jijik. Hingga malam pertama kami lalui dalam diam. Tanpa laku, bahasa juga suara.
Semalam bersama
laki asing membuatku tidak bisa memejamkan mata dengan nyenyak. Takut
diapa-apain. Pagi hari aku tidur seharian tanpa mempedulikan laki-laki itu yang
statusnya menjadi suamiku.
“Nduk, bangun.
Suamimu tidak kamu ladeni? Ambilkan makan dari tadi aku lihat belum makan
apapun,” ibu mengguncang tubuhku. Aku hanya menggeliat.
“Dosa lho, Nduk.
Jika mengabaikan suami,” ucap ibu lagi. Sambil mengerjap dan mengucek
mata, dengan terpaksa aku bangkit dari
pembaringan dan mengambilkan dia makan.
Dua pekan
kemudian aku meminta di antarkan ke pondok untuk berpamitan sekaligus mengambil
barang-barang yang masih ada di sana.
Setelah sowan
dan pamit untuk boyong kepada Bu Nyai dan Pak Kyai. Aku pun menuju kamar untuk
mengambil barang-barang ku juga menemui teman-teman se kamar untuk berpamitan.
“Farida, kamu
jahat! Pamit pulang tidak balik-balik ke pondok dan sekarang kamu datang untuk
berpamitan?” Tika mengomel dengan mata berembun.
“Apa kamu masih
menganggapku sahabat? Menikah pun kamu tidak memberitahu apalagi mengundangku,”
dia menangis.
“Maafkan aku,
Tika. Semua di luar kehendak dan kuasaku. Maafkan aku ya,” kami berpelukan erat
sebagai tanda perpisahan.
***
Aku diboyong ke
rumah suamiku, berpisah dengan orang tua dan adik-adikku. Kami hanya berdua di
rumah yang sudah disediakan oleh orang tua suami. Sikapku masih sama tetap
mensalju, setiap hari aku mengisi waktuku dengan hafalan dan beribadah. Aku
hanya mau masak, bersih-bersih dan mencuci pakaian. Untuk melayaninya, no! Aku tetap tidak mau
disentuh olehnya. Dia pun tidak berani menyentuhku. Jika dia keluar malam dan
pulang dini hari aku tidak peduli. Semakin lama kebencianku menggunung apalagi jika ingatan akan impianku yang kandas datang mengintai
karena dialah impianku menjadi penghafal Al Qur'an memudar, mendebu tak
tersisa.
Aku berharap dengan sikap dan perangaiku itu, dia tidak betah, marah kemudian menceraikan aku. Apabila kami bercerai, aku akan terlepas darinya kemudian bisa kembali ke pondok untuk melanjutkan hafalanku.
Akan tetapi apa
yang terjadi? Setelah pernikahan berjalan satu tahun, harapanku tidak berwujud
karena dia begitu sabar menghadapi sikapku. Dia sabar menungguku meski aku
selalu menolaknya. Dia sangat menghormati
dan memperlakukan aku dengan baik. Ketika berbicara pun lemah lembut,
dan tidak pernah aku mendengar dia
berkata kasar kepdaku apalagi membentak atau memarahiku. Dia selalu tersenyum
di depanku. Saat aku jatuh sakit dia menjagaku siang malam dengan penuh
kekhawatiran tapi aku masih menyalju. Hatiku tak bergeming untuk membuka atau
merasakan iba apalagi simpati.
Suatu hari di ujung senja. Dia sudah rapi dengan pakaian Koko dan kopyah putihnya.
Suatu hari di ujung senja. Dia sudah rapi dengan pakaian Koko dan kopyah putihnya.
"Dik, apa
kamu ingin melanjutkan hafalanmu?" dia mengambil tempat duduk di sebelahku
saat aku tengah muroja'ah hafalan.
Hatiku
terlonjak, bercampur tak percaya saat mendengar pertanyaan itu.
"Iya. Tapi percuma," jawabku ketus.
"Iya. Tapi percuma," jawabku ketus.
"Percuma
bagaimana?" dia menelisik
"Meskipun
aku ingin melanjutkan hafalan pasti tidak akan bisa karena sudah terikat oleh
pernikahan," aku mencebik-cebik ketus dengan mata mulai berembun.
"Siapa bilang tidak bisa. Kamu bisa melanjutkan hafalanmu, Dik. Meskipun kamu sudah menikah denganku," jawabnya terkekeh. Dia selalu begitu dalam menanggapi sikapku yang judes, jutek dan dingin. Pasti aku selalu ditertawakan. Dia santai gitu kayak di pantai.
"Benarkah? Serius?" Mataku membulat tak percaya dengan yang aku dengar.
"Serius. Dua rius malah," jawabnya tersenyum dan tampak deret giginya yang putih rapi.
"Bener?" mataku menelisik irisnya yang hitam untuk mendapatkan jawaban atas keseriusannya.
"Beneran. Sekarangpun kita bisa mencari pondok tahfidz untukmu. Tidak mengapa kamu di pondok. Sepekan sekali aku akan menyambangimu," ucapnya dengan masih mengulum senyum.
"Terserah mau mondok berapa lama. Aku ikuti kemauanmu," ucapnya lagi.
"A-apakah mas ikhlas dan ridho jika aku mondok dan tidak serumah denganmu?" Embun di mataku semakin menumpuk.
"Siapa bilang tidak bisa. Kamu bisa melanjutkan hafalanmu, Dik. Meskipun kamu sudah menikah denganku," jawabnya terkekeh. Dia selalu begitu dalam menanggapi sikapku yang judes, jutek dan dingin. Pasti aku selalu ditertawakan. Dia santai gitu kayak di pantai.
"Benarkah? Serius?" Mataku membulat tak percaya dengan yang aku dengar.
"Serius. Dua rius malah," jawabnya tersenyum dan tampak deret giginya yang putih rapi.
"Bener?" mataku menelisik irisnya yang hitam untuk mendapatkan jawaban atas keseriusannya.
"Beneran. Sekarangpun kita bisa mencari pondok tahfidz untukmu. Tidak mengapa kamu di pondok. Sepekan sekali aku akan menyambangimu," ucapnya dengan masih mengulum senyum.
"Terserah mau mondok berapa lama. Aku ikuti kemauanmu," ucapnya lagi.
"A-apakah mas ikhlas dan ridho jika aku mondok dan tidak serumah denganmu?" Embun di mataku semakin menumpuk.
"Aku ikhlas
dan ridho, dik," ucapnya serius.
"Terimakasih,
Mas," bulir bening mengalir menganak sungai. Bulir bening rasa haru dan
bahagia.
Ba'da Maghrib, dia mengajakku berkeliling mencari pondok tahfidz yang cocok untukku dan mau menerimaku sebagai santri di sana. Ternyata diam-diam jauh hari dia sudah mencari banyak informasi terkait pondok tahfidz di sekitar wilayah sini.
Ba'da Maghrib, dia mengajakku berkeliling mencari pondok tahfidz yang cocok untukku dan mau menerimaku sebagai santri di sana. Ternyata diam-diam jauh hari dia sudah mencari banyak informasi terkait pondok tahfidz di sekitar wilayah sini.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam," sambut nyai Ifah pemilik pondok tahfidz Al Khoiriyah.
"Lho, kamu Ahmad?" Nyai Ifa kaget. Ternyata mereka pernah satu kelas. Suami nyai Ifah juga teman satu kamar dengan suamiku saat mondok di Langitan.
"Ada apa? Kok tumben seorang Ahmad datang ke sini?" tanya Abah Rouf terkekeh
"Jangan gitu lah kang, eh Bah," balasnya canggung. Mungkin tidak menyangka temannya yang memiliki pondok ini.
"Wa'alaikumsalam," sambut nyai Ifah pemilik pondok tahfidz Al Khoiriyah.
"Lho, kamu Ahmad?" Nyai Ifa kaget. Ternyata mereka pernah satu kelas. Suami nyai Ifah juga teman satu kamar dengan suamiku saat mondok di Langitan.
"Ada apa? Kok tumben seorang Ahmad datang ke sini?" tanya Abah Rouf terkekeh
"Jangan gitu lah kang, eh Bah," balasnya canggung. Mungkin tidak menyangka temannya yang memiliki pondok ini.
Kami pun
mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan kami.
"Iya, tidak
apa-apa nanti bisa mondok di sini. Bila kamu ingin sambang istrimu kapanpun tak
masalah, Ahmad. Saya sediakan kamar khusus buat kalian," ucap Abah Rouf
tertawa menggoda.
Keesokan harinya, dia yang paling sibuk menyiapkan segala keperluanku selama di pondok nanti. Hatiku merasa bahagia karena impianku akan tercapai. Kami pun berangkat
Keesokan harinya, dia yang paling sibuk menyiapkan segala keperluanku selama di pondok nanti. Hatiku merasa bahagia karena impianku akan tercapai. Kami pun berangkat
mengendarai sepeda motor.
Saat sudah di pondok,
kami disambut oleh keluarga ndalem dengan ramah dan hangat. Setelah
berbincang-bincang, dia pun mengutarakan niatnya untuk nitip dan memasrahkan
aku ke keluarga ndalem. Kemudian pamit pulang dan meninggalkan aku di sini. Meskpun
hati senang namun dalam hati merasa ada yang hilang, dan kurang.
Sebulan aku
berada di pondok ini dengan aktivitas menghafal dan menghafal. Alhamdulillah
hafalanku sudah bertambah yang awalnya delapan juz, sekarang sudah mendapatkan
sepuluh Juz. Hampir empat pekan dia tidak mengunjungiku padahal janjinya
sepekan akan berkunjung. Uang yang dia berikan pun sudah menipis belum lagi
besok waktunya membayar syahriyah pondok. Di samping itu ada lagi satu masalah
yang aku tidak mengerti masalahnya apa. Bila usai menghafal dan saat ditinggal
teman-teman kamar sekolah formal. Aku merasa resah kemudian mulai
terbayang-bayang akan wajah suamiku. Terkadang ingin sekali bertemu walau
sesaat. Apabila hal itu menghampiriku, ada rasa yang aneh meletup dalam jiwa.
Ada rasa yang asing saat teringat dengan sosoknya.
Sudah sebulan
lebih dia belum juga menunjukkan batang hidungnya membuat hatiku tak tenang.
Tidak mungkin dia ingkar janji, dan melupakan istrinya di sini. Setiap sore aku menanti dia tak kunjung
sambang.
Berawal dari
hati yang tak tenang, aku pun nekad pulang.
Sesampai di rumah, tanganku mengetuk-ngetuk pintu berulang bersama dengan mengucap salam namun, tak
jua ada sambutan.
_ sepi, kemana?_
"Lho, Mbak
Farida. Kok di rumah? Barusan datang dari rumah sakit ya. Gimana kabar pak Ahmad? Dengar-dengar masih
tak sadarkan diri. Apa sekarang beliaunya sudah sadar?" cecar Mbak Ida
tetangga sebelah kanan rumah.
Deg!
“M-maksud Mbak
Ida apa?” tanyaku kebingungan.
"R-rumah
sakit? Tak sadarkan diri? Siapa?" tanyaku lagi dengan hati keruh
"Lho, Mbak
Farida tidak tahu?" tanyanya dengan tatapan aneh dan kaget.
"Aku baru
datang dari pondok, Mbak," jawabku luruh.
"Ya Allah,
Mbak. Pak Ahmad kecelakaan, sudah tiga minggu yang lalu. Katanya mau ke Suci
saat di perjalanan sepedanya tabrakan dengan truk," terangnya
"Innalilaahi...
Suci? Ya Allah, Itu artinya dia mau menyambangiku?" bulir bening mulai
mengalir di pipiku. Rasanya tidak percaya dengan yang aku dengar.
Tiba-tiba tubuhku
limbung, beberapa menit kemudian tumbang ke lantai.
"Mbak, Mbak
Farida!" teriak mbak Ida saat mendapati tubuhku ambruk di lantai.
Setelah tersadar aku langsung melesat menuju ke rumah sakit tempat mas Ahmad di rawat. Tubuhnya masih tergeletak tak berdaya dengan berbagai macam alat yang dipasangkan dijasadnya.
Irisku makin basah dan kantong air mataku mengeluarkan air mata yang makin lama menderas.
Perasaan sedih, takut campur aduk menggelayuti hatiku. Sedih melihat dia dalam kondisi seperti itu. Ada Rasa takut bila kehilangannya. Iya, aku mulai merasakan betapa berharganya dia dalam hidupku. Dalam hati aku mulai mengimani bahwa dialah jodoh yang sudah ditetapkan untukku. seperti yang telah diterangkan dalam Qur'an surat An- Nisa' ayat 1. Dialah jodoh untuk jiwaku. Hati ini mulai disapa oleh letupan rasa. Rasa yang belum pernah aku rasakan. Rasa cinta. Meski terlambat menyadari rasa ini tapi aku merasa sangat bahagia dapat mencintainya.
Aku bergerak mendekati tubuh yang terbaring lemah.
“Mas, bangunlah.
Jangan lama-lama tidurnya! Banyak hal
yang harus kita bicarakan. Aku telah berdosa kepadamu, Mas. Berdosa kepada
Tuhanku, yang tidak bersyukur atas anugerah yang diberikan kepadaku, berupa
suami sepertimu. Tak seharusnya aku menyalahkan dirimu, Mas. Karena semua sudah
menjadi ketetapanNya. Takdirku. Maafkan aku, Mas. Tolong cepatlah bangun. Aku
tidak ingin kehilanganmu,” bulir bening merembes dari netraku.
Aku membelai
tangan, rambut kemudian wajah manisnya. Sambil merapalkan do'a agar dia segera
membuka mata. Kemudian menggapai hati dan tangan ini ke dalam genggamannya. Aku akan menanti hingga
dia bangun dari komanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar