Selasa, 18 Maret 2014

CERPEN : SECERCAH HIDAYAH


Gemericik air dari langit masih terdengar, bau tanah telah lenyap dibawa angin yang berhembus. Aku masih enggan  berpisah dari guling dan selimut, ‘ tok-tok ! ani.. bangun,  sudah siang.. kamu sudah Subuh apa belum,? Ayo bangun,” Teriak ibu dari luar. Aku diam saja tidak menjawab karena tadi aku tidak subuh entah untuk keberapa kalinya,  aku jarang subuh. An..  ayo bangun,  cepetan mandi.. entar telat kesekolah, lo. Terdengar suara ibu dari luar sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
Iya bu.. ni dah bangun, jawabku. Ahh .. aku menggeliat. Rasanya mata ini lengket dan tak mau di buka, bulu dibahuku juga pada berdiri, dingin menusuk kulitku. Aku tengok weker diatas meja. Waduh dah siang !!! aku langsung terbirit-birit ambil handuk, meski dingin aku tetap paksakan untuk mandi.

Tunggu pak.... teriakku dengan keras. Pak parno si satpam sekolah akan menutup pintu gerbang. Dengan ngos-ngosan aku berlari mengejar kesempatan untuk mendapatkan pintu masuk kehalaman sekolah meski lebarnya tinggal selebar tubuhku yang kurus. Cepetan ning.. kata pak parno. Ya pak... . alhamdulillah.. aku masih bisa masuk halaman sekolah.helaku dengan lega.  Sementara teman-teman  yang ada dibelakangku sudah tidak boleh masuk dan disuruh pulang.

Ani,!.  ada suara yang memanggilku. Aku menengok kebelakang.  ‘tuh dipanggil bu ratna’, kata sinta. Ibu ratna memanggilku?? Tumben amat bisikku. “Ada apa sih sin,  Pagi-pagi ibu ratna memanggilku?’ tanyaku. “G taulah’,  Jawab sinta sambil ngeloyor pergi.
Assalamu’alaikum. Ucapku dari balik pintu. Wa’alaikumsalam,  balas bu Ratna dari dalam ruanganya. “Maaf bu Kata Sinta Ibu memangilku?? Tanyaku.  Iya betul ani,  ayo masuklah ada yang mau saya bicarakan denganmu. Silahkan duduk.”  Terimaksih bu, jawabku. Begini an ada perlombaan olimpiade Matematika tingkat Jawatimur, dan apabila lolos akan didelegasikan sebagai perwakilan propinsi jawatimur dikancah perlombaan Nasional. Nah, Ibu berharap  kamu mengikuti olimpiade tersebut, nanti ibu daftarkan. Untuk dijawatimur akan dilaksanakan sebulan lagi. Bagaimana ?tanya bu ratna kepadaku.  saya, bu?? Tidak bu saya tidak bisa. Jawabku seketika itu. Loh napa?? Tanya bu ratna. Aku tidak bisa matematika bu. Jawabku lagi. Siapa bilang kamu tidak bisa matematika. Kamu itu punya bakat dalam ilmu matematika hanya saja belum terasah dengan benar. Nah, dimomen ini kamu bisa mengasah bakatmu dalam ilmu hitung tersebut. Dan nanti selama sebulan ada guru yang akan membimbingmu dalam memahami dan menguasai matematika. Asal kamu ada niat dan kemauan yang keras, pasti kamu mampu. Kata bu ratna panjang lebar. Tapi, bu.. ,” selaku. “tidak ada tapi-tapian, kapan lagi kamu akan mencoba kamu bisa atau tidak bisa itu belum jelas karena belum pernah kamu coba. Nah sekarang ini waktunya, mumpung ada kesempatan. Dan kamu nanti tidak sendiri, ada teman sekelasmu juga kok yang mengikuti perlombaan ini,” Jelas bu ratna.” Teman sekelasku?? Siapa bu?? Sergahku.  Rudiawan an, bukannya sekelas denganmu,?” Jawab bu ratna dengan tenang. Rudiawan ? tanyaku untuk meyakinkan. Iya, jawab bu ratna dengan penuh keyakinan. Nanti kalian akan menjadi partner dalam belajar dengan didampingi guru pembimbing. Tiba-tiba. Jantungku berdegup tak karuan. Seketika anganku melayang, aih Belajar bersama dengan rudiawan..? batinku.’ Gimana ani, kamu siap? , tanya Bu ratna mengagetkanku.I,i,iya bu insya Allah. Jawabku tanpa sadar. Bagus! ‘kamu pasti bisa. Bu ratna menepuk pundakku! Aku langusng permisi meninggalkan ruangan bu ratna.

Rudiawan akan menjadi partner belajarku selama sebulan ?? rudiawan cowok yang cool abis, tampan, sopan dan lemah lembut serta taat ibadah akan menjadi partnerku?? aiih benarkah ini? Aduh, sakit juga ketika aku mencubit pipiku sendiri untuk meyakinkan bahwa apa yang aku dengar dari bu ratna bukan ilusi atau mimpi semata. Aku sangat gembira sekali, bisa kenal lebih dekat dengan dia.

Seperti biasa, setiap pagi dimusim kemarau mentari selalu tersenyum merekah bahkan terkadang terlihat tertawa terbahak yang bisa membuat pening kepala dan menggelapkan kulit. Aku masih tergeletak dipembaringan enggan bangkit, apalagi hari ini sekolah libur, tapi tidak seperti biasa hari yang biasanya aku nikmati dengan menonton TV, atau bersantai ria dirumah hari ini aku harus pergi ke Sekolah, sesuai dengan intruksi dari Bu Ratna bahwa mulai hari ini aku ada tambahan materi selain hari-hari biasa sepulang sekolah, belajarku harus digenjot setiap hari mengingat perlombaan sudah didepan mata.

Assalamu’alaikum... “ ucapku. Wa’alaikumsalam... sahut seseorarng dari dalam ruang. Wah.. Rudiawan... teriakku dalam hati. Hmm senengnyaa...!. “ masuk an,” sapa pembimbingku. Emm maaf pak saya telat datang, tadi bangun kesiangan,” Kataku memberikan penjelasan. Ya gak apa-apa kok. Bapak juga baru datang belum 5 menit disini. Jawab pak Handoko. Aku tersenyum senang.
Aku dan Rudiawan bersama-sama belajar hitung, aku sering minta bantuan kepada Rudiawan untuk membantuku menyelesaikan soal-soal  yang belum aku pahami, dia benar-benar menguasai materinya. Dia pandai, dan jenius,” Batinku dengan rasa simpatik yang luar biasa.

 Seiring waktu berlalu kami semakin akrab, dan bersama-sama giat mempelajari ilmu hitung tanpa kenal waktu. Rudiawan juga cowok yang menyenangkan dan nyambung diajak ngorol.  Karena sering jalan bareng hingga menimbulkan rasa jengkel dan iri teman-teman yang lain. Sementara aku cuek bebek saja.

Pada saat menjelang olimpiade tiba, aku sudah bersiap-siap datang ketempat lokasi olimpiade sesampai disana aku hanya menemukan pak Handoko mondar-mandir sendirian sambil sekali-kali menengok arlojinya. Assalamu’alaikum pak Handoko,” sapaku. Wa’alaikumsalam ani... syukurlah kamu sudah datang acaranya sebentar lagi dimulai. Mana Rudiawan? Tanya Pak Handoko heran. Loh... saya malah mencari-cari rudiawan pak dan ingin tanya ke Bapak dimana Rudiawannya. Ujarku panik.
Limabelas  menit lagi olimpiade dimulai aku harus masuk keruang olimpiade, mataku melirak lirik kemana-kemana untuk menemukan sosok yang aku cari yaitu Rudiawan. Rudiawan masih belum kelihatan batang hidungnya. Aku menoleh ke Pak Handoko, ku lihat pak handoko sedang berbicara dengan seseorang di telepon, pak Handoko mendekatiku dan memberi kabar bahwa Rudiawan masuk rumah sakit, dan memberikan handponnya kepadaku katanya ada yang ingin berbicara denganku. Assalamu’alaikum.. sapaku untuk orang diseberang. Wa’alaikumsalam.. ani. Terdengar suara lemah dsana. Rudiawan ?” tanyaku. “hehe iya.. maaf aku tidak bisa berjuang denganmu, pada saat aku terburu-buru berangkat aku tidak melihat kalau ada kendaraan melintas dengan kencangnya, aku tertabrak dan kata dokter aku harus dioperasi. Jawabnya. Operasi ? tanyaku. Mengapa harus dioperasi, apa separah itu? . Iya ani,  maafkan aku ya,  Kamu harus berjuang disana sendirian, kamu harus menjadi nomor satu. Ok! Kata Rudiawan. Diam-diam airmataku meleleh, rasa sedih menusuk-nusuk.” Iya Rud, pasti aku akan menjadi nomor satu, tapi kamu juga harus berjuang untuk sembuh. Kamu harus berhasil dalam operasi ini. Kamu janji ya...aku akan membawa piala untuk kamu, tapi kamu juga harus memberikan senyuman ke aku nanti setelah perjuagan ini. Oke ! kataku penuh harap. Oke ani... semoga berhasil ya. assalamu’alaikum. Wa’alaikumsalam.. aku menutup telepon dengan rasa sedih.
Ku tatap Pak Handoko, beliau menepuk pundakku kemudian mengangguk dan memberi semangat kepadaku untuk berjuang sendiri melawan 300 peserta yang lain untuk mendapatkan nomor satu di olimpiade ini.

Hasil olimpiadepun diumumkan, deg-degan rasa hatiku. Dimulai dari juara harapan 3, 2, 1. Kemudian juara 3, 2, namaku tidak terdengar samasekali, ketika sampai pengumuman juara 1 pikiranku masih tertuju pada Rudiawan, aku mengkhawatirkan keadaannya saat ini. Tiba-tiba Pak Handoko bersorak, Alhamdulillah... Allahu Akbar, Ani kamu berhasil, kamu juara 1. Kata Pak Handoko penuh semangat. Apa?? Aku terbelalak kaget tidak menyangka,  memang itu namaku yang disebut untuk maju kedepan menerima piala sebagai juara 1. Alhamdulillah... ucapku dalam sujud syukur.

aku langsung pergi dan menuju ke rumah sakit tempat handoko di operasi, aku ingin menunjukkan piala ini ke dia. Saat tiba di lorong rumah sakit, aku melihat keluarga Rudiawan sedang menangis, ada apa?? Apa yang terjadi?,”Tanyaku dalam hati.
Kemudian aku melihat Ayah Rudiawan mengikuti suster  mendorong pasien yang ditutupi kain putih. Aku mencari tahu, ternyata operasi Rudiawan mengalami kegagalan, dia kehabisan darah, sementara golongan darahnya sangat langka dan persediaan darah yang dibutuhkan Rudiawan sudah habis. Akhirnya Rudiawan tidak tertolong lagi.

Aku lari sekencang-kencangnya berharap itu hanya mimpi semata, tapi sayup-sayup ditelingaku mendengar bahwa itu bukan mimpi. Bu Ratna menggandengku dan mengatakan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati, dan saat ini Rudiawan sudah memasuki peristiwa itu. Do’akan dia. Dan ikhlaskan mungkin itu yang lebih baik untuknya. Ucap Bu Ratna dengan lembut.

Kemudian aku mengambil air wudlu dan sholat dimushola rumah sakit. Aku berdo’a untuk Rudiawan. Allahummahfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fu anhu. Allahummalaatahrimna ajrohu wala taftinna ba’dahu waghfirlana walahu.

Aku semakin menyadari bahwa kematian tidak memandang usia, jika sudah tiba kematian itu tidak bisa di ajukan atau ditunda. Sejak saat itu, aku mulai belajar Agama dengan benar, menutup aurat dan menjalankan semua kewajiban yang sudah dibebankan kepadaku sebagai seorang Muslim, menjauhi segala bentuk larangan dan kemaksiatan. Biasanya sholatku bolong-bolong sekarang tidak lagi. Aku ingin mengumpulkan bekal untuk kehidupanku disana kelak. Mulai sekarang Aku bertekad untuk  menjadi Muslimah yang Kaffah.

BY. EL- FAIZ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar